Sabtu, 09 Juni 2012

Konsep Ijtihad

Masa kini banyak yang alergi taqlid dengan alsan taqlid buta adalah pembodohan dan kemunduran islam , benara kah ???
kalau enggan taqlid maka otomatis harus ijtihad . kalo ijtihad harus ada karya fikihnya seperti Imam Malik , Imam Syafii , Imam hanafi dan Imam Ahmad . buktinya tetap saja mazhab yang Empat ini yang mashur dan belum ada yang mengaku mujtahid mazhab dan mempersentasikan ijtihadnya tentang masalah fiqhiyah .Tapi sudahlah bagi yang ngaku mampu Ijtihad silahkan dan bagi kami yang gak mampu jangan dihina sebab memegang satu mazhab atau bermazhab satu mazhab tidak ada pengaruhnya dengan maju dan mundurnya islam . sebab kemajuan suatu golongan adalah tergantung pada sudut pandang masing-masing bila kita sebutkan kemajuan dan kemunduran separti yang diukur dengan pandangan umum ( yaitu tergantung kemajuan ekonomi dan komunikasi taransportasi ) maka tidak ada hubungannya dengan manganut atau tidak menganut mazhab . bila islam ingin maju seperti pandangan umum tadi berarti kita yang muslim harus berekonomi dan berteknologi yang canggih . tapi sebagai masyarakat muslim jelas kemajuan yang diharapkan bukan ekonomi dan tegnologi saja melainkan kemajuan dibidang pemahaman dan pengamalan ajaran agama juga dan kemajuan inilah yang terpenting  . 
kemabali kepada pokok bahsan , ijtihad itu apa sih? 


Pengertian ijtihad yang sering dikemukakan adalah para ulama ushul fikih adalah definisi imam al-Gazali, yaitu:
Pengerahan kemampuan secara maksimal seorang mujtahid dalam rangka memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syara’.
Dari definisi tersebut setidaknya mengandung tiga unsur ijtihad yaitu:
  1. Pengerahan segenap kemampuan yang berijtihad merupakan usaha jasmani rohani, tenaga fikiran, waktu maupun biaya dan bukan upaya ala kadarnya.
  2. Seorang mujtahid mengandung arti bahwa ijtihad hanya menggunakan dan boleh dilakukan oleh seseorang yang telah memenuhi persyaratan tertentu, sehingga mencapai level mujtahid dan bukan sembarang orang.
  3. Guna memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ mengandung arti bahwa capaian ijtihad adalah ketentuan hukum yang menyangkut tingkah manusia dalam kaitannya dengan pengalaman ajaran agama.
Sementara al-‘Amidi (551-631 H/1156-1233 M)mendefinisikan ijtihad sebagai berikut:
Mencurahkan kemampuan dalam mendapatkan hukum-hukum syara’ yang bersifat zanni, sehingga dirinya tidak mampu lagi mengupayakan yang lebih dari itu.
Dari definisi ini dapat dipahami bahwa ijtihad dalam bidang hukum Islam adalah pengerahan kemampuan intelektual secara optimal untuk mendapatkan hukum suatu permasalahan pada tingkat zanni.

Al-Syaukani mendefinisikan ijtihad bahwa:
Mengerahkan segenap kemampuan dalam mendapatkan hukum syara’ yang praktis dengan menggunakan metode istinbat.
Dari defenisi ijtihat yang menurut al-Syaukani ada satu penekanan mengenai cara berijtihad, yaitu dengan cara istinbat yang pengertiannya mendalami, mengkaji suatu lafaz untuk dikeluarkan atau ditetapkan hukumnya. Hal ini berarti bahwa menetapkan hukum dari suatu nash yang secara jelas telah menunjuk suatu hukum tidak bisa dinamakan suatu ijtihad. Jadi intinya adalah lapangan ijtihad adalah masalah yang tidak jelas penunjukan hukumnya.
Dari ketiga definisi ijtihad tersebut, dapat dirangkum dalam beberapa komponen:
  1. Ijtihad adalah suatu usaha maksimal
  2. Ijtihad harus (dan hanya dapat) dilakukan oleh orang yang ahli
  3. Lapangan ijtihad adalah hukum syara’
  4. Ijtihad harus ditempuh melalui cara istinbat
  5. Status hukum dari hasil ijtihad adalah zanni
 Sejak Kapan Ijtihad itu ada ?

Motivasi berijtihad telah ada sejak pada masa nabi, hal ini terbukti dengan adanya beberapa riwayat tentang bolehnya berijtihad sebagai contoh:
Diriwayatkan dari ‘Amr bin al-‘As bahwasanya dia pernah mendengar Rasulullah saw., bersabda: apabila seorang hakim hendak memutuskan (suatu perkara) lalu berijtihad, kemudian ijtihadnya itu benar, maka dia mendapatkan dua pahala. Dan apabila seorang hakim hendak memutuskan suatu perkara lalu berijtihad, kemudian ijtihadnya itu salah, maka dia masih mendapatkan suat pahala (diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).
Dari Hadis tersebut, maka dapat dipahami bahwa nilai motivasi yang diberikan oleh Rasulullah saw., agar umatnya mau dan terdorong untuk berijtihad cukup jelas dan eksplisit (tersurat) dalam hadis. Karena orang yang benar ijtihadnya mendapat dua pahala kebenaran yang dicapainya. Sementara yang ijtihadnya salah, ternyata tidak berdosa bahkan mendapat satu pahala. 
Tapi meski salah diganjar harus salahnya yang benar-benar menguasai ilmu usul fikih dan syarat-syarat ijtihad diantara syarat-syarat ijtihat itu :
Mengetahui ayat ahkam 
mengetahui asbabun nuzul
mengetahui nasakh dan mansukh
mengetahui sejarah
mengetahui yang telah diijtihadkan imam lain
mengetahui hadis ahkam
mengetahui asbab wurud ahkam 
dan masih ada lagi syarat-syarat ijtihad lainnya
bila sobat mau lebih mendalaminya belajar saja ke lambaga yang mendalami tentang ilmu tersebut
sekian saja artike tentang KonsepIjtihad semoaga manfat bagi yang membacanya


0 komentar:

Posting Komentar